Rabu, 09 April 2014

Perjumpaan Iman dan Akal Budi

“Karena itu di rumah ibadat ia bertukar pikiran dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang yang takut akan Allah…dan juga beberapa ahli pikir dari golongan Epikuros dan Stoa” (Kis 17:17-18)

Kalimat di atas menunjukkan bahwa sejak zaman para Rasul: awal pewartaan iman kristiani telah terjadi perjumpaan iman dengan aliran-aliran filsafat yang berkembang saat itu. Dalam teks Kis. 17:17-18 diperlihatkan bagaimana mereka mengadakan diskusi tentang iman dan akalbudi (ilmu pengetahuan) untuk mencari kebenaran. Para rasul dan jemaatnya berdiskusi bahkan berdebat dengan para ahli filsafat seperti Stoa dan Epikuros.
Ilmu membebaskan dari ketakutan (Epikuros)
Epikuros adalah seorang filsuf Yunani yang dilahirkan tahun 341 SM. Epikuros berbeda dengan Aristoteles yang mengutamakan penyelidikan ilmiah. Epikuros menggunakan pengetahuan yang diperolehnya dan penyelidikan ilmu yang sudah dikenal sebagai alat untuk membebaskan manusia dari ketakutan agama. Ketakutan terhadap agama dimaksud adalah adanya rasa takut kepada dewa- dewa yang ditanam dalam hati manusia oleh agama orang Yunani lama. Menurut Epikuros ketakutan kepada agama itulah yang menjadi penghalang besar untuk memperoleh kesenangan hidup. Jadi aliran filsafat Epikuros diarahkan kepada satu tujuan memberikan jaminan kebahagiaan kepada manusia. Bagi Epikuros logika melihat kehidupan adalah semua yang kita pandang/ lihat itu adalah benar. Logika harus melahirkan norma untuk pengetahuan dan kriteria tentang apa itu kebenaran. Pandangan adalah kritetia yang paling tinggi untuk menentukan kebenaran. Kebenaran dicapai dengan pemandangan dan pengalaman. Pemikiran kedua Epikuros adalah fisika. Teori fisika diciptakan oleh manusia untuk membebaskan manusia dari kepercayaan sia-sia kepada dewa-dewa. Dia berpendapat bahwa dunia ini bukan dijadikan dan dikuasai oleh dewa-dewa melainkan oleh gerakan hukum fisika. Segala yang terjadi dan dipandang di dunia ini disebabkan oleh penyebab kausal dan mekanis. Manusia harus merdeka menentukan nasibnya sendiri dan tidak dikuasai oleh dewa-dewa. Epikuros dalam Kisah Para Rasul itu berdebat dengan orang beriman soal kehadiran Allah. Epikuros dengan tegas mengajarkan bahwa manusia sesudah mati tidak hidup lagi (bertentangan dengan paham iman Kristiani yang percaya adanya kebangkitan orang-orang mati). Hidup adalah peristiwa yang sementara saja yang tidak bernilai harganya, maka hidup ditujukan untuk mencari kesenangan. Pemikiran ketiga dari Epikuros adalah etik. Ajaran etik tidak terlepas dari ilmu fisika yang ia ciptakan. Pokok ajaran etikanya adalah mencari kesenangan hidup, yang diartikan sebagai kesenangan ragawi dan kepuasan batin.
Penyempurnaan moral manusia (Stoa)
Stoa dalam Kisah para rasul 17:17-18 adalah seorang filsuf Yunani yang hidup tahun 340 SM. Dia seorang saudagar yang belajar filsafat di akademi dibawah pimpinan Xenocrates murid Plato yang terkenal. Stoa artinya ruangan, karena di ruangan penuh ukiran dia mengajarkan pelbagai ilmu pengetahuan. Tujuan utama dari ajaran Stoa adalah menyempurnakan moral manusia. Pokok ajaran filsafat Stoa adalah bagaimana manusia hidup selaras dengan keharmonisan dunia sehingga kebajikan adalah akal budi yang lurus. Akal budi yang sesuai dengan keselarasan/ keharmonisan dunia. Pada akhirnya manusia akan mencapai citra hidup manusia yang bijaksana yaitu hidup sesuai dengan jalan pikir alam semesta. Tentang logika, pemikiran Stoa tidak jauh berbeda dengan Epikuros yakni untuk memperoleh kriteria tentang kebenaran. Kebenaran adalah pemandangan yang menggambarkan barang yang dipandang sehingga orang yang memandang itu membenarkan dan menerima isi yang dilihatnya. Fisika kaum Stoa memberi pelajaran tentang alam tetapi juga tentang Teologi. Tentang etik Stoa, ini adalah inti dari filsafatnya. Maksud etiknya adalah mencari dasar-dasar umum untuk bertindak dan hidup yang tepat. Kemudian melaksanakan dasar-dasar itu dalam penghidupan. Kemerdekaan moral seseorang adalah dasar dari segala etik Stoa.
Iman dan Akal budi saling melayani
Pengetahuan kodrati dari Epikuros dan Stoa dapat menjerumuskan manusia ke dalam paham atheis, dengan pandangan mereka yang menolak adanya paham kebangkitan orang-orang mati. Epikuros dan Stoa memiliki pandangan yang hedonis, yaitu mencari kesenangan badani dalam hidup, dan ini berlawanan dengan ajaran iman kristiani. Sebagai umat kristiani kita tidak boleh melupakan dua hal pokok menanggapi pelbagai kemajuan akal budi manusia yakni pengertian kodrati akan Allah dan suara hati nurani. Seperti ditulis dalam surat Paulus kepada jemaat di Roma. “Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka… Apa yang tidak nampak dari pada-Nya yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih” (Roma 1: 19-20). Perjumpaan akal budi (pengetahuan) dalam aliran filsafat sejak Gereja perdana dengan Teologi (pewartaan iman Kristiani) menjadi penting untuk disimak. Pemikir Kristiani bersikap kritis dalam menjawab gagasan filsafat Yunani. Adalah Origenes [Bapa Gereja di abad ke-2] yang menggunakan filsafat Platonis untuk menyusun argumen dan bentuk teologi Kristiani. Dia unggul dalam menangkis serangan filsuf Yunani dengan gagasan Teologi yang bernalar rasional. Kebenaran ilmu pengetahuan bertumpu pada akal budi tetapi teologi Kristiani bertumpu pada wahyu Kristiani. Kebenaran kristiani membawa penyelamatan dan berpuncak pada pewahyuan tentang Kristus. Karena itu perjumpaan ilmu pengetahuan (akal budi) dan pemahaman akan Allah (Teologi) harus saling melayani dan mendukung. Sebab jika tidak, keduanya akan menuai kepicikan dan ketimpangan ilmu yang bertujuan untuk kesejahteraan dan kebaikan umat manusia.

Disadur dari katolisitas.org

0 komentar:

Posting Komentar